Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat kini memiliki standar kecantikan dalam menilai kecantikan seseorang, tidak peduli walaupun standar kecantikan tersebut adalah kulit putih, mulus, serta badan langsing, tinggi semampai. Hal tersebut tidaklah berpihak pada “kearifan lokal” yang ada di negara kita. Tidak sedikit juga yang mengutamakan kecantikan dibandingkan etika dan wawasan untuk menilai seseorang.
Standar kecantikan yang didukung dengan munculnya berbagai produk dan jenis perawatan kecantikan itu pun semakin tidak terpisahkan dari kehidupan para kaum hawa. Banyak yang melakukan beragam perawatan dan menggunakan produk-produk kecantikan sebagai usaha untuk menyesuaikan citra diri dengan standar tersebut agar dapat lebih diterima oleh masyarakat secara umum.
Dalam proses memenuhi standar tersebut, biaya yang harus dikeluarkan pun bisa dibilang tidak sedikit. Ada harga mahal yang harus dibayar untuk kompleksitas perawatan dan hasil yang memuaskan. Dibalik fenomena ini, tentu ada pihak yang diuntungkan, yaitu klinik penyedia berbagai jasa perawatan kecantikan dan produsen produk kecantikan.
Sebagai contoh, biaya sekali injeksi vitamin dan antioksidan secara intravena untuk memutihkan kulit di klinik kecantikan yang sedang tren di ibu kota mulai dari 1 juta hingga 20 juta rupiah. Biaya ini tergantung dari kualitas cairan yang diinjeksi. Apakah cukup dengan satu kali injeksi? Tidak selalu begitu. Banyak kaum hawa yang perlu melalui beberapa kali injeksi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Beauty is pain terasa sangat nyata kan?
Melihat nominal yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan kecantikan yang tidak sedikit itu, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dapat menikmati jasa estetika tersebut hanyalah masyarakat golongan menengah ke atas. Dengan penghasilan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari, mereka dapat menikmati jasa pelayanan kesehatan premium tersebut.
Lalu, apakah jasa pelayanan kesehatan premium ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), dijelaskan bahwa jasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk dipakai.
Pada Pasal 4A ayat (3) UU PPN disebutkan jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yaitu:
- Jasa pelayanan kesehatan medik;
- Jasa pelayanan sosial;
- Jasa pengiriman surat dengan perangko;
- Jasa keuangan;
- Jasa asuransi;
- Jasa keagamaan;
- Jasa pendidikan;
- Jasa kesenian dan hiburan;
- Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
- Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
- Jasa tenaga kerja;
- Jasa perhotelan;
- Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
- Jasa penyediaan tempat parkir;
- Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
- Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
- Jasa boga atau catering.
Pada Penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf a, disebutkan bahwa yang dimaksud jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
- Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
- Jasa dokter hewan;
- Jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
- Jasa kebidanan dan dukun bayi;
- Jasa paramedis dan perawat;
- Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
- Jasa psikologi dan psikiater;dan
- Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
Setelah menyelisik peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, dapat kita ketahui bahwa jasa perawatan kecantikan yang dilakukan oleh dokter umum dan/atau dokter spesialis mendapat pengecualian dari Jasa Kena Pajak yang dikenakan PPN. Padahal sudah sangat jelas bahwa jasa pelayanan kesehatan premium ini tidak termasuk kebutuhan pokok dan hanya dinikmati oleh golongan tertentu.
Keadaan yang menyebabkan terjadinya distorsi ekonomi masyarakat ini tentu sudah tidak selaras dengan latar belakang munculnya PPN sebagai usaha nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak yang sekaligus pula merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif dalam masyarakat.
Dalam menyikapi keadaan tersebut, perlu ditinjau kembali berbagai pengecualian dan fasilitas perpajakan yang tidak efektif seperti pengecualian pengenaan PPN ini. Selain itu, diperlukan definisi-definisi untuk menghindari kesalahan penafsiran dan skema-skema multitarif yang tidak tumpul ke atas untuk melindungi seluruh masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah.
Melalui usaha-usaha melaksanakan pengenaan pajak yang efektif ini, kita berharap dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban bernegara sebagai sarana partisipasi dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta membantu bangsa kita keluar dari pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan berbagai sendi kehidupan di negara kita.
Jangan takut PPN ya. Yuk, rakyat jelita bisa cantik sambil bantu negara, yuk!
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber: https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-untuk-rakyat-jelita