Pada pertengahan bulan lalu, seorang tersangka tindak pidana pajak diserahkan ke Kejaksaan Negeri Buleleng, Bali. Ia diduga telah merugikan negara sebanyak Rp1,3 miliar. Hal tersebut membuktikan bahwa perkara pajak pun bisa membuat kita dipenjara. Padahal kalau dipikir-pikir, bayar pajak seperti memberi sumbangan kepada negara. Kenapa tidak bayar saja bisa masuk penjara? Apakah bisa disebut sebagai tindakan kriminal?

Pajak Bukan Sumbangan

Siapa yang jika mendengar kata pajak menjadi takut? Pajak memang membuat sebagian orang ketar-ketir. Bagaimana tidak, ditelpon kantor pajak untuk lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan saja rasanya seperti dituduh mencuri, takutnya setengah mati. Namun, ada juga yang jika mendengar kata pajak, rasanya biasa saja seperti diminta sumbangan. Dalam hatinya, kalau mau ya bayar, kalau tidak mau tidak perlu bayar.

Nyatanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

Sudah jelas dari pengertian pajak di atas bahwa pajak tidak sama dengan sumbangan, karena sumbangan bersifat tidak wajib sedangkan pajak bersifat wajib dan memaksa.

Perkara Pajak Bukan Sekadar Pemeriksaan

Banyak yang menganggap kalau tidak bayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku, kita akan mendapat surat dan diperiksa oleh pemeriksa pajak. Padahal, perkara pajak tidak sesederhana itu dan tidak terbatas administrasi saja.

Berdasarkan pengertian pajak, jelas bahwa kewajiban membayar pajak bersifat memaksa dan diatur dalam undang-undang. Maka dari itu, siapa saja yang melanggar undang-undang akan dikenakan sanksi.

Sanksi dalam perpajakan ada dua yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif berbentuk pengenaan bunga, denda, atau kenaikan sesuai dengan tingkat pelanggaran dari wajib pajak. Sedangkan sanksi pidana berupa denda pidana, pidana kurungan, atau bahkan pidana penjara. Dari dua jenis sanksi ini, sudah jelas bahwa wajib pajak pun bisa dipidana soal pajak.

Efek Jera Sanksi Pidana

Mengapa perkara pajak bisa dipidana? Sebelum masuk ke pidana pajak, mari kita bedah dahulu mengenai hukum pidana. Pertanyaan dasar yang mungkin terbesit, mengapa dosa manusia dikotak-kotakan menjadi dosa yang pantas dihukum pidana dan dosa yang tidak pantas dihukum pidana? Padahal kita tahu, manusia adalah sumbernya dosa.

Ternyata, manusia itu pada dasarnya memiliki sifat berkuasa, ingin berbuat sesuai kehendaknya dan apabila keinginan manusia tidak dibatasi, maka akan menjadi ancaman bagi manusia lainnya. Untuk membatasi sifat “liar” manusia itu lah, hukum diciptakan. Hukum pidana dikenakan atas tindak kejahatan yang mengancam keselamatan orang banyak.

Jika dikaitkan dengan pajak, kita tahu bahwa Indonesia menerapkan sistem perpajakan self assessment yaitu wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Instansi pajak dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempercayai wajib pajak atas voluntary payment-nya. Namun, di negara mana pun pasti ada saja wajib pajak yang nakal.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa pajak adalah beban ekonomi bagi si wajib pajak. Karena dengan uang yang dikeluarkan untuk membayar pajak bisa digunakan untuk kepentingan lainnya. Sehingga tak heran, wajib pajak sebisa mungkin berusaha mengefisiensikannya.

Pajak bisa masuk ke ranah pidana karena atas tindakan pelanggaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dapat merugikan negara. Atas kerugian negara tersebut, banyak program pemerintah untuk kemakmuran rakyat tidak bisa direalisasikan.

Pada perpajakan, sanksi pidana merupakan ultimum remedium atau merupakan keputusan terakhir setelah semua upaya sanksi administratif tidak efektif. Hal ini karena, ketika wajib pajak dipenjara maka kemungkinan besar usahanya akan terbengkalai dan tak jarang usaha gulung tikar karena perkara pajak. Padahal pada dasarnya pajak itu memerah susu bukan memotong sapinya.

Hindari Pelanggaran Ini

Ketentuan pidana perpajakan diatur dalam Bab XIII UU KUP. Dalam bab tersebut, ada beberapa pasal yang menegaskan mengenai bentuk pidana perpajakan, yaitu:

  1. Pasal 38, yaitu setiap orang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tapi isinya tidak benar atau tidak lengkap;
  2. Pasal 39, yaitu setiap orang yang sengaja :
    1. Tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);
    2. Menyalahgunakan NPWP dan/atau PKP-nya;
    3. Tidak menyampaikan SPT;
    4. Menyampaikan SPT tapi isinya tidak benar atau tidak lengkap;
    5. Menolak dilakukan pemeriksaan;
    6. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan dan/atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan;
    7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia;
    8. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lain;
    9. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen lain yang menjadi dasar pembukuan, pencatatan;
    10. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
  3. Pasal 39A, yaitu menerbitkan dan atau menggunakan fakur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotngan pajak, bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya serta menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP;
  4. Pasal 41A, yaitu dengan sengaja tidak memberikan keterangan, bukti atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar;
  5. Pasal 41B, yaitu dengan sengaja menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. 

Sumber: https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-dan-perkaranya