Sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017 tentang Pembayaran Pajak Secara Elektronik, Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak adalah sistem elektronik yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menerbitkan dan mengelola Kode Billing yang merupakan bagian dari sistem penerimaan negara secara elektronik.

Pembayaran menggunakan kode billing merupakan salah satu bentuk transformasi digital yang transformatif dalam sistem perpajakan Indonesia. Dalam peraturan yang sama, kode billing memiliki arti sebagai kode identifikasi yang diterbitkan melalui Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak.

Adanya fasilitas ini tentu membantu baik wajib pajak maupun pemerintah dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakan. Pembayaran pajak kini dapat dilakukan di manapun dan kapanpun. Kemungkinan adanya potensi pungutan liar pun dapat diatasi dengan adanya sistem billing yang pembayarannya langsung masuk ke rekening kas negara.

Walaupun sudah cukup lama diterapkan, ternyata masih terdapat beberapa kebingungan yang terjadi di masyarakat terkait pembuatan kode billing. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali ditanyakan wajib pajak baik ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui media sosial resmi milik Direktorat Jenderal Pajak.

Salah satu pertanyaan yang sering ditemui adalah “Kapan seharusnya pembuatan kode billing menggunakan fitur ‘NPWP lain’ atau ‘NPWP sendiri’?”. Tentu saja kebingungan ini tidak terjadi ketika wajib pajak membuat kode billing atas pembayaran terkait kewajiban perpajakanya sendiri. Tetapi kebingungan sering muncul ketika transaksi terjadi di antara dua pihak, yakni wajib pajak dan rekanan. Misalnya bendahara dengan rekanan yang menjadi lawan transaksinya.

Ketika melakukan pemungutan atau pemotongan pajak, terkadang wajib pajak masih bingung dalam membuat kode billing. Sering kali kode billing yang seharusnya disetor dengan NPWP wajib pajak pemotong, malah disetorkan atas NPWP lain (NPWP rekanan). Banyak yang berpikir karena transaksi terjadi antara dua pihak dan ada pemotongan maka otomatis akan selalu menggunakan fitur ‘NPWP lain’ di bagian subjek pembuatan kode billing.

Padahal sebenarnya tidak semerta-merta selalu seperti itu. Akhirnya wajib pajak harus melakukan proses pemindahbukuan agar pembayarannya dapat dikreditkan. Jadi, kembali lagi ke pertanyaan “Kapan seharusnya kita menggunakan fitur ‘NPWP lain’ atau ‘NPWP sendiri’ dalam pembuatan kode billing?”

NPWP Sendiri

Hal yang sudah pasti adalah ketika menyetorkan pembayaran atas kewajiban perpajakan diri sendiri, maka subjek ketika pembuatan kode billing adalah NPWP sendiri. Yang perlu diperhatikan adalah kapan memilih ‘NPWP sendiri’ ketika transaksi terjadi antara dua pihak. Pembuatan kode billing dengan NPWP sendiri ketika transaksi melibatkan dua NPWP adalah ketika terjadi pemotongan pajak.

Pemotongan pajak mengakibatkan adanya penghasilan yang terpotong atau berkurang. Jenis pajak yang yang menggunakan sistem pemotongan antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21/26 dan PPh Pasal 23/26. Jadi bisa dikatakan bila transaksi terkena salah satu pemotongan pajak di atas, maka ketika pembuatan kode billing pasti akan menggunakan subjek NPWP sendiri.

Misalnya ketika seorang wajib pajak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sebut saja A, membayarkan pajaknya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23), maka wajib pajak akan menggunakan NPWP-nya sendiri dalam membuat kode billing.

Tapi ketika A bertransaksi dengan Bendahara B yang adalah bendahara pemerintah yang berperan sebagai pemotong pajak, maka Bendahara B akan melakukan pemotongan pajak PPh 4 ayat (2) atas penghasilan yang akan diterima oleh A. Hal tersebut dapat terjadi jika A melampirkan Surat Keterangan PP 23.

Kemudian, Bendahara B akan memberikan A bukti pemotongan. Lalu Bendahara B nantinya akan menyetorkan pajak tersebut dengan menggunakan NPWP Bendahara B saat membuat kode billing dan menggunakan subjek NPWP sendiri.

Sederhananya, ketika terjadi pemotongan pajak, maka kewajiban pembayaran berpindah statusnya kepada pihak pemotong. Sedangkan pihak yang dipotong (penerima penghasilan) mendapatkan bukti potong sebagai ganti bukti bayar. Karena kewajiban pembayaran telah berpindah kepada pemotong, maka pemotong akan menyetorkan pajak yang telah dipotong tersebut menggunakan NPWP pemotong itu sendiri dan juga menggunakan subjek NPWP sendiri saat pembuatan kode billing.

NPWP Lain

Bila ‘NPWP sendiri’ digunakan saat terjadi pemotongan pajak, maka ‘NPWP lain’ kita gunakan saat terjadi pemungutan pajak. Bila pemotongan pajak mengakibatkan penghasilan yang berkurang (terpotong) akibat pajak yang dipotong, maka pemungutan pajak tidak memotong penghasilan.

Dalam skema pemungutan, pajak dipungut berdasarkan jumlah penghasilan tapi tidak mengurangi penghasilan itu sendiri. Jenis pajak yang menggunakan skema pemungutan antara lain adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan juga PPh Pasal 22.

Misalnya seorang Wajib Pajak Badan X yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual barang dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Z yang juga PKP. Badan X akan menerbitkan faktur pajak atas transaksi tersebut dengan kode 01 dan memungut PPN sebesar 10% atas transaksi tersebut dari Z. Nantinya, X akan menyetorkan pembayaran PPN atas bulan tersebut dengan kode billing dengan subjek NPWP sendiri atas pembayaran yang disetorkan.

Lain halnya bila X bertransaksi dengan Bendahara C yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Atas transaksi yang berlangsung, X menerbitkan faktur pajak kepada Bendahara C. Sedangkan untuk pembayaran PPN, Bendahara C yang memiliki kewajiban menyetorkannya.

Sehingga, kode billing akan dibuat dengan NPWP Bendahara C dan memilih subjek NPWP lain. Kemudian memasukkan NPWP rekanan sebagai NPWP yang disetorkan pajaknya. Nantinya pada bukti bayar akan tertera NPWP X sebagai pemilik bukti bayar pajak dan pada kode billing, NPWP Bendahara C akan muncul sebagai penyetor.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam hal terjadi transaksi di antara dua pihak dan salah satunya berperan sebagai pemotong atau pemungut, maka dua hal yang akan sering terjadi adalah sebagai berikut:

  • Pemotongan pajak: PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21/26, dan PPh Pasal 23. Menggunakan fitur NPWP sendiri dan disetorkan oleh NPWP pemotong.
  • Pemungutan pajak: PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM. Menggunakan fitur NPWP lain dengan NPWP pemungut sebagai penyetor dan NPWP rekanan sebagai yang disetor.

Jadi bisa disimpulkan bahwa untuk memahami kapan menggunakan fitur subjek NPWP sendiri atau NPWP lain pada pembuatan kode billing harus terlebih dahulu memahami skema pemotongan maupun pemungutan pajak. Terutama bagi pihak pemotong/pemungut pajak seperti bendahara pemerintah, harus memperhatikan hal-hal mendasar seperti ini untuk menghindari adanya kesalahan pembayaran pajak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Sumber: https://pajak.go.id/id/artikel/npwp-sendiri-atau-npwp-lain-jangan-salah-bikin-billing