Pemerintah dan DPR secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-Undang (UU). Salah satu terobosan dari beleid ini adalah integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan yaitu penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Tujuan kebijakan ini salah satunya adalah untuk kesederhanaan administrasi. Berdasarkan penelitian Sutanta (2013), setidaknya terdapat 28 instansi yang menyematkan nomor identitas seorang warga negara Indonesia (WNI). Hal ini menimbulkan banyaknya prosedur dan kerumitan yang harus dilalui WNI tersebut dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Menurut praktik di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, identitas kependudukan sudah terintegrasi dalam satu nomor identitas (Single Identity Number/SIN) dan dikenal dengan sebutan Social Security Number (SSN). Dengan adanya SSN, semua urusan terkait administrasi seperti jaminan sosial, keimigrasian, perpajakan, dan penegakan hukum menjadi lebih mudah dan efisien.
Tujuan lain penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi adalah untuk kepentingan nasional. Salah satu tantangan perpajakan di Indonesia adalah meningkatkan rasio pajak. Oleh sebab itu, dibutuhkan perluasan basis perpajakan untuk menjaring wajib pajak yang selama ini belum tersentuh sistem.
Proyeksi Satu Abad Indonesia
Tahun 2021 menjadi tahun penting yang menentukan masa depan bangsa Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) di awal 2021, bonus demografi Indonesia berlangsung selama 2012-2036 dan mencapai puncaknya pada tahun ini. Hingga akhir 2021, jumlah penduduk Indonesia adalah 271,35 juta jiwa. Bila laju pertumbuhan penduduk 1,25% per tahun, maka diperkirakan di tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 356,15 juta jiwa.
Dari data statistik, dapat dibuat asumsi komposisi penduduk di tahun 2045 berdasarkan estimasi umur dan laju pertumbuhan penduduk per tahun untuk tiap jenis generasi. Generasi X yang lahir tahun 1965-1980, pada tahun 2045 akan berumur 65-80 tahun (usia nonproduktif) dengan jumlah 58,65 juta jiwa. Adapun generasi Y (milenial) yang lahir di tahun 1981-1996 akan berumur 49-64 tahun dengan jumlah 69,38 juta jiwa.
Generasi Z (lahir 1997-2012) akan berumur 33-48 tahun dengan jumlah 74,93 juta jiwa. Generasi yang lahir pada 2013 akan berumur 32 tahun dengan jumlah 29,17 juta jiwa. Sedangkan generasi yang lahir di tahun 2014-2027 akan berumur 18-31 tahun dengan jumlah 47,48 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk Indonesia di rentang usia 18-64 pada tahun 2045 akan berjumlah 279,61 juta jiwa.
Bila kita menggunakan rasio penduduk bekerja (128,45 juta jiwa) terhadap jumlah penduduk di tahun 2020 (271,35 juta jiwa) dan diasumsikan rasio tersebut tetap di tahun 2045, maka dapat diprediksi jumlah penduduk bekerja pada saat itu sebanyak 168,6 juta jiwa.
Jumlah penduduk usia produktif dan prediksi jumlah penduduk bekerja di atas menggambarkan potensi basis perpajakan di tahun 2045, pada saat Indonesia merayakan ulang tahunnya yang seabad. Salah satu tantangan yang nyata bagi otoritas pajak adalah mengidentifikasi siapa saja yang memenuhi persyaratan subjektif dan menjadi wajib pajak.
Hal ini penting sebab berdasarkan UU HPP, Pajak Penghasilan (PPh) hanya dikenakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan penghasilan setahun di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM (yang menggunakan tarif PPh sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018) dengan peredaran bruto di atas Rp500 juta per tahun.
Melihat banyaknya jumlah penduduk yang harus diidentifikasi tersebut, diperlukan integrasi data terkait penghasilan, investasi, dan konsumsi penduduk yang dapat diakses oleh otoritas pajak. Untuk mengolah data tersebut, diperlukan dukungan teknologi dalam pemanfaatan mahadata, penggunaan komputasi awan, dan kecerdasan buatan.
Tantangan Self Assessment
Karena sistem perpajakan kita menganut sistem self assessment yang memerlukan kesadaran pajak dan pemahaman perpajakan wajib pajak, maka penanaman nilai-nilai kesadaran pajak dan edukasi perpajakan menjadi penting. Penanaman nilai-nilai kesadaran pajak bagi penduduk yang lahir di tahun 2013-2027 sendiri mempunyai estimasi sasaran sebanyak 76,65 juta jiwa. Sedangkan untuk prediksi kebutuhan edukasi perpajakan dapat menggunakan estimasi jumlah penduduk bekerja sebanyak 168,6 juta jiwa.
Bila dihubungkan dengan piramida kepatuhan wajib pajak (Jensen dan Wohlbier, 2012), terdapat empat jenis wajib pajak dengan komposisi wajib pajak patuh terbesar berada di dasar piramida. Wajib pajak inilah yang membutuhkan informasi dari otoritas pajak. Adapun jenis wajib pajak di level dua terbawah adalah wajib pajak yang ingin patuh namun gagal. Perlakuan yang dibutuhkan wajib pajak jenis ini adalah asistensi dan pemberian edukasi terkait teknis perpajakan. Dimungkinkan pula dilakukan audit secara parsial untuk menguji kepatuhan perpajakannya.
Besarnya jumlah sasaran edukasi perpajakan, pemberian informasi, dan penanaman nilai-nilai kesadaran pajak menjadi sinyal diperlukannya sebuah sistem yang baik dan memenuhi kebutuhan wajib pajak di tiap level. Sistem manajemen risiko kepatuhan (Compliance Risk Management/CRM) wajib pajak pun perlu diperkuat bukan hanya di bidang pengawasan namun juga penyuluhan pajak. Hanya menunggu waktu hingga proses reformasi perpajakan yang sedang berlangsung akan mampu menjawab tantangan itu.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber: https://pajak.go.id/id/artikel/meneroka-integrasi-nik-npwp-dalam-uu-hpp